Selasa, 13 April 2010

SEJARAH SUNDA

Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.



Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.



Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'



Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.



Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).



Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).



Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.



Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.

Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.



Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.



Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.

Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.



Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.



Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.



Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).



Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).



Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.



Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.



Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).



RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.



Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).



Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).



Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).



Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.



Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).



Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.



Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).



Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.





Pemerintahan berdaulat



Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.



Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.



Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.



Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.



Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.



Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.



Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.



Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.



Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).



Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).

0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362

1. Jayasingawarman, 358-382

2. Dharmayawarman, 382-395

3. Purnawarman, 395-434

4. Wisnuwarman, 434-455

5. Indrawarman, 455-515

6. Candrawarman, 515-535

7. Suryawarman, 535-561

8. Kertawarman, 561-628

9. Sudhawarman, 628-639

10. Hariwangsawarman, 639-640

11. Nagajayawarman, 640-666

12. Linggawarman, 666-669



Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)

2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)

3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)

4. Rakeyan Banga (739 - 766)

5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)

6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)

7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)

8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)

9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)

10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)

11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)

12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)

13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)

14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)

15. Munding Ganawirya (964 - 973)

16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)

17. Brajawisésa (989 - 1012)

18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)

19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)

20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)

21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)

22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)

23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)

24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)

25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)

26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)

27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)

28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)

29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)

30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)

31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)

32. Prabu Bunisora (1357-1371)

33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)

34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)

35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)

36. Prabu Surawisésa (1521-1535)

37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)

38. Prabu Sakti (1543-1551)

39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)

40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)

Sumber:

- Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.

- Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000

- Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.

- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.

- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1

- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

PRASASTI SUNDA

Selayaknya juga kita lebih arif untuk sekadar "melirik" kearifan lokal yang terpendam dalam khazanah budaya peninggalan nenek moyang melalui kearifan lokal yang antara lain tercermin dalam prasasti. Tanpa kita sadari, banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun dalam prasasti yang bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa kini.

Prasasti yang dalam bahasa asing disebut glory, laudation, direction, atau guidance merupakan pujian, sanjungan, keagungan, petunjuk, pedoman atau doa yang menyatakan suatu permohonan (keinginan untuk kedamaian dalam kerajaan, atau inskripsi dalam bahasa yang indah (berirama). Prasasti merupakan salah satu peninggalan nenek moyang masa lampau yang bisa dijadikan sebagai ciri utama adanya perubahan dalam kehidupan budaya orang Sunda dari kebudayaan prasejarah kepada kebudayaan sejarah.

Prasasti merupakan tulisan di atas batu atau lembaran logam. Tulisannya terdiri atas rangkaian aksara, sedangkan aksara itu sendiri merupakan lambang suara, terutama suara yang dikeluarkan atau yang dipakai dan digunakan oleh manusia. Ahli prasasti biasa disebut epigraf, sedangkan ilmunya disebut epigrafi.



Berikut beberapa prasasti peninggalan di Jawa Barat dan Banten.

Prasasti Geger Hanjuang Galunggung

Yang pertama kali membaca Prasasti Geger Hanjuang di Galunggung adalah Holle yang kemudian mendapat koreksi dari Pleyte. Prasasti tersebut ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Leuwisari Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti ini kini disimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D-26, berukuran tinggi 80 cm dan lebar 60 cm. Isinya ditulis dalam aksara/huruf dan bahasa Sunda buhun yang cukup terang untuk dibaca, dan terdiri atas tiga baris yang bacaannya sebagai berikut:

Tra ba i gunna apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu (k) ku batari hyang pun.

"Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk ‘digali’ oleh Batari Hyang."

Di antara prasasti-prasasti yang terdapat di Jawa Barat, prasasti Geger Hanjuang dapat dikatakan "tidak pernah" disebut-sebut dalam pembicaraan sejarah buhun (kuno) Jawa Barat. Penggarapannya masih sangat mentah, karena sebagaimana disebutkan bahwa baru Holle yang mencoba membacanya dengan hasil (menurut Holle sendiri) "kurang memuaskan". Dengan demikian, perlu diadakan penelitian dan penelaahan lebih lanjut serta berkesinambungan dari para ahli dan pemerintah.

Prasasti Batutulis

Prasasti Batutulis ditemukan di Desa Batutulis pada sekitar bekas kabuyutan dekat lokasi keraton. Prasasti ini ditulis dengan huruf dan bahasa Sunda Buhun, terdiri atas delapan baris, yang isinya memberitakan tokoh Sri Baduga Maharaja yang telah berjasa membangun tanda peringatan, mengeraskan jalan dengan batu, dan membuat hutan, telaga Rena Mahawijaya. Beliau adalah penguasa Pakuan Pajajaran yang dinobatkan dengan gelar Prabu guru Dewataprana.

Prasasti Batutulis dibuat pada tahun 1455 Saka (1533) oleh Surawisesa Jaya Prakosa putra Sri Baduga Maharaja sebagai tanda peringatan dalam upacara srada. Nama Sri Baduga Maharaja (1482-1521) terungkap dalam Prasasti Batutulis Bogor. Prasasti ditemukan dan berada di daerah Bogor sampai saat ini. Dikatakan bahwa Sri Baduga Maharaja adalah seorang raja yang bertakhta dan berkuasa di Pakuan Pajajaran (Ratu Haji di Pakuan Pajajaran). Dia bergelar lebih dari satu, bergantung kepada kedudukannya (diwastu), di antaranya: Prebu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja, Sri Sang Ratu Dewata, dan setelah meninggal bergelar Prebu Ratu.

Pada masa Pajajaran, terdapat dua macam prasasti, yaitu piteket dan sakakala. Piteket memuat pengumuman langsung dari raja yang memerintahkan membuat prasasti, sedangkan sakakala dibuat untuk mengabadikan perintah atau jasa seseorang (raja) yang telah wafat. Jika dilihat dari pembukaannya, jelaslah bahwa prasasti Batutulis adalah sakakala. Dari faktor ini saja sudah jelas bahwa pada saat prasasti Batutulis dibuat, Sri Baduga sendiri telah wafat.

Dalam prasasti tersebut disinggung pula pekerjaan serta silsilahnya. Sri Baduga pernah menggali lombang (pertahanan) di Pakuan (nyusuk na Pakwan), membuat tanda peringatan (keagamaan) berbentuk gugunungan, berupa gunung serta jalannya memakai batu (ngabalay), menetapkan hutan larangan (samida), serta membuat telaga suci yang bernama Rena Mahawijaya (nyieun sanghyang talaga Rena Mahawijaya).

Disebutkan pula mengenai keturunannya, bahwa Sri Baduga Maharaja adalah putra Rahiyang Dewa Niskala yang dikubur di Gunatiga (Gunung Tilu), cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dikuburkan di Nusalarang (Pulo yang berada di Situ Panjalu saat ini, sebelah utara Ciamis). Prasasti Batutulis terbuat dari batu. Beraksara Jawa Kuno namun berbahasa Sunda Buhun, yang dibuat pada tahun 1455 ( i saka panca pandawa emban bumi) atau 1533 Masehi. Prasasti tersebut dibuat oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), putra Sri Baduga Maharaja yang meneruskan kedudukannya, ketika Beliau mengadakan upacara srada (upacara keagamaan untuk memperingati 12 tahun meninggal ayahnya).

Sri Baduga Maharaja sebenarnya lahir dan dibesarkan di Kawali, pusat kota kerajaan Galuh. Baik ayahnya (Dewa Niskala atau Ningrat Kancana, 1475-1482) atau kakeknya (Prabu Niskala Wastu Kancana, 1371-1475) bertakhta di Kawali, daerah kekuasaan kakeknya yang juga menguasai Kerajaan Sunda pada waktu itu. Ketika tahun 1382 sehari-harinya pemerintahan di Kerajaan Sunda dijalankan oleh Prabu Susuk Tunggal, putra Wastu Kancana dari istrinya yang berasal dari Lampung. Dewa Niskala adalah putra Wastu Kancana dari Mayangsari, putri Galuh, yang pertama kali memerintah menjadi mahamentri (menteri agung) di kerajaan Galuh. Setelah ayahandanya meninggal (1475) Beliau diserahi jabatan dan bertakhta di Galuh. Ketika masih hidup dan berjaya, Sri Baduga Maharaja digelari Jayadewata atau Pamanah Rasa

Karena Prabu Niskala Wastu Kancana pernah ngarempak larangan (melanggar aturan) hampir saja Kerajaan Sunda memerangi Kerajaan Galuh. Akhirnya Sri Baduga menjadi "tumbal" damainya kembali kedua kerajaan tersebut. Awalnya Sri Baduga ditugasi memimpin Kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya (1482). Namun karena Sri Baduga menikah dengan putri raja Sunda, putra Prabu Susuktunggal, sebagai tanda mempererat hubungan kedua kerajaan tersebut, akhirnya Beliau dijadikan raja Sunda menggantikan mertuanya. Itulah sebabnya, dalam Prasasti Batutulis disebutkan bahwa Sri Baduga dilantik (diistrenan) dua kali serta mempunyai gelar dua juga. Yang pertama, yakni Guru Dewataprana, ketika dilantik menjadi raja Galuh. Kedua, Sri Baduga Maharaja, ketika dilantik menjadi raja Sunda. Oleh sebab itu, daerah kekuasaannya meliputi dua kerajaan. Meskipun demikian, tetap saja disebut Kerajaan Sunda. Namun, karena Sri Baduga memutuskan untuk tinggal di Pakuan Pajajaran, maka beliau bersama keluarganya pindah dari Kawali ke Pakuan Pajajaran.

Raja Sri Baduga Maharaja atau dikenal dengan sebutan Sang Ratu Jayadewata memerintah dan berkuasa selama 39 tahun (1482-1521). Beliau meninggal dan dikubur di Rancamaya, di sebelah timur-ke arah selatan kota Bogor sekarang. Sayang sekali saat ini kita tidak bisa menyaksikan bekas kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut, karena tempat itu saat ini sudah menjadi kompleks perumahan mewah. Namun masih ada secercah harapan agar peninggalan warisan karuhun zaman dahulu tersebut masih terpendam di dalamnya.

Prasasti Kawali

Orang yang pertama kali membaca Prasasti-prasasti Kawali adalah Friederich pada tahun 1853-1855. Hasil bacaannya tersebut kemudian dilanjutkan Holle disertai koreksi dan pembahasan secara lebih luas, bertalian dengan salah satu upaya untuk menjelaskan perihal bahasa yang terdapat pada prasasti-prasasti Kawali dan prasasti Batutulis Bogor.

Bahkan, terbersit berita bahwa perhatian terhadap prasasti di kedua prasasti itu mula-mula dari Friederich. Demikian besar minatnya terhadap pemecahan isi prasasti, sampai-sampai ia membuat prasasti sendiri yang diletakkan di Kebun Raya Bogor. Prasasti-prasasti tersebut terletak di kompleks pemakaman Astana Gede Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis.

Ada enam batu di sana, satu di antaranya tidak berisi tulisan yang oleh juru kunci biasa dinamakan Batu Pangradinan (tempat bersolek) Pangagung Baheula. Satu batu lagi berisi guratan berbentuk kotak-kotak berjumlah 45 buah, dan di luar guratan tersebut terdapat sepasang bekas telapak kaki dan telapak tangan kiri. Batu ini dianggap sebagai kalender abadi yang merupakan sistem penanggalan tradisional bagi masyarakat Sunda dari abad ke-8 Masehi, yang telah berkembang seabad sebelum kerajaan Mataram Kuno.

Dua di antara empat prasasti lainnya berisi tulisan: Sang hyang Linggahyang dan Sanghyang Linggabingba yang mungkin dipancangkan sebagai tanda penghormatan terhadap kedua nama tokoh tersebut. Sementara dua prasasti lainnya berisi wangsit Prabu Raja Wastu bagi para penerusnya. Kedua prasasti tersebut oleh para pakar diberi nomor I dan II. Prasasti Kawali I terdiri atas sepuluh baris, dan jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya pada bagian punggungnya pun masih terdapat tulisan. Prasasti Kawali II terdiri atas tujuh baris. Berikut ini transliterasi kedua prasasti tersebut disajikan berdasarkan bacaan Holle.

Prasasti Kawali I

** Nihan tapa kawali nu siya mulia tapa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisésa nu marigi sakulili (ng) dayeuh najur sagala désa aya ma nu pa(n)deuri pakéna gawé rahayu pakeun jaya dina buana.*

"Yang bertapa di Kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia".

Prasasti Kawali I merupakan Prasasti yang pertama kali ditulis dengan menggunakan aksara Sunda Kaganga dan bahasa Sunda Buhun "kuno". Dalam prasasti tersebut disebut-sebut nama Prabu Wastu yang bertakhta di Kota Kawali di Keraton Surawisesa. Berdasarkan prasasti tersebut, kita tahu bahwa di Tatar Sunda pernah ada seorang raja yang bernama Prabu Wastu. Raja Wastu bertempat tinggal di keraton yang bernama Surawisesa, di pusat kota kerajaan yang bernama Kawali. Prasasti tersebut sebagaimana dijelaskan tadi ditemukan di Kompleks Astana Gede yang terletak di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis sekarang.

Jika kita amati dengan seksama, isi Prasasti Kawali menguraikan wasiat Prabu Niskala Wastu Kancana terhadap anak-anaknya serta keturunannya agar kerajaan Sunda berjaya selama-lamanya. Tampak sekali ada pertalian bathin dari diri dan pribadi Prabu Niskala Wastu Kancana sebagai seorang raja serta ahli bertapa yang sudah menemukan sumber hakikat kehidupan untuk kesejahteraan negara.

Prasasti Kawali 1B dan 2, menguraikan amanat Prabu Niskala Wastu Kancana yang bunyi teksnya sebagai berikut:

Hayua diponah-ponah,
Hayua dicawuh-cawuh.
Inya nékér inya ager
inya ninycak inya rempag.

"Jangan dihalangi, jangan diganggu, yang berusaha memotong niscaya akan jatuh tersungkur, yang berusaha menginjak niscaya akan roboh."

Prasasti Kawali II
Aya ma...nu ngeusi bhagya kawali bari pakéna kereta bener pakeun na(n)jeur na juritan

"Semoga ada yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar unggul dalam perang".

Amanat dari Prabu Niskala Wastu Kancana dalam Prasasti Kawali tersebut berupa larangan serta doa. Jangan berbuat keburukan atau hal-hal yang tidak baik. Niscaya yang melanggar larangan tersebut akan bertemu dengan kesusahan atau akan celaka. Dia berharap agar daerah Kawali terus ada dan ditempati, Dia juga berupaya agar masyarakat yang berada di tempat itu pun diharapkan bahagia, makmur, dan adil. Dengan cara demikian, selamanya akan unggul dalam peperangan. Tatkala di Kerajaan Majapahit ada Perang Paregreg (perang saudara) sekitar tahun 1453-1456 yang mengakibatkan mundurnya kerajaan tersebut, Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu sedang "bertapa dalam keadaan senang hati" karena melihat negaranya dalam keadaan sejahtera, sambil melakukan brata siya puja tan palum (tirakat dan beribadah).

Piagam Kebantenan

Piagam Kebantenan yang dimaksud terdiri atas lima lempeng tembaga yang ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda Buhun. Piagam ini diperkirakan sezaman dengan prasasti Batutulis Bogor, yang dibuat atas perintah Sri Baduga Maharaja. Secara garis besar, piagam ini berisi tentang penetapan batas dan pengukuhan status wilayah tertentu di wilayah Pakuan Pajajaran, serta keputusan pembebasan pajak bagi penduduk di daerah yang dikukuhkan tersebut. Sebagai bukti, terjemahan dari lempengan piagam III/IV, tampak berikut ini:

"Semoga selamat. Ini tanda peringatan Rahiyang Wastu Kancana, turun kepada Rahiyang Ningrat Kancana, lalu diamanatkan kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan dayeuh di Jayagiri dan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan membebaninya dengan dasa, calagara, kapas timbang, dan paré dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut pajak (kepada penduduknya) karena mereka itulah yang berbakti dan mengabadikan dirinya kepada ajaran agama. Merekalah yang teguh melaksanakan hukum-hukum dewa."

Dalam Prasasti Kebantenan II disebut-sebut nama Sri Baduga Maharaja beserta gelarnya yang lain, yakni Sri Sang Ratu Dewata, yang berkaitan dengan kejadian ketika Beliau membuat keputusan bahwa Sunda Sembawa akan dibuat daerah suci keagamaan (kabuyutan, dewasasana). Prasasti Kebantenan I pun dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sendiri, untuk memperingati (sakakala) kakeknya, yakni Rahyang Niskala Wastu Kancana yang memberi amanat kepada putranya, Hyang Ningrat Kancana, yang diamanatkan lagi kepada Beliau. Dalam amanatnya, Niskala Wastu Kancana menitipkan daerahnya (dayeuhan kabuyutan) Jayagiri dan Sunda Sembawa agar tetap dipelihara serta dijaga dari gangguan bangsa lain. Pakuan Pajajaran merupakan pusat kota Kerajaan Sunda yang terletak di Kota Bogor sekarang. Ketika membuat Prasasti Kebantenan, Sri Baduga Maharaja sudah bertakhta di Kerajaan Sunda serta menempati dan tinggal di Pakuan Pajajaran, mendiami keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Selain itu, sebagai informasi saja ada prasasti yang bernama Prasasti Pasir Muara (Cibubulang) berkaitan dengan kerajaan Sunda, yang menurut Bosch, bunyinya sebagai berikut:

ini sabdakalanda juru panga –
mbat i kawihaji panyca pasagi marsa
ndeca barpapulihkan haji sunda.

"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam (tahun Saka) 458 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda". (Elis Suryani N.S./-Dosen & Mahasiswa S-3 Filologi Unpad)***

Sumber: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=110376

NASKAH AMANAT GALUNGGUNG ( KOROPAK 632 )

‘Raja yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat sampah’. Demikian salah satu isi dari Amanat Galunggung.

Naskah atau koropak 632 ini sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta.



Naskah memuat pula tentang tata politik pada jaman dahulu. Sedangkan pusat-pusat kegiatan intelektual dan keagamaan ditempatkan pada kedudukan yang sangat penting. Dari naskah ini diketahui juga peran Kabuyutan (liat fungsi Kabuyutan pada thread lainnya), bukan hanya sebagai tempat pemujaan, melainkan dijadikan sebagai salah satu cara penopang integritas terhadap negara, sehingga tempat itu dilindungi oleh raja dan disakralkan.



Amanat Galunggung bukan suatu judul naskah yang langsung ditulis demikian, namun disebutkan bagi sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy Garut. Penamaan terhadap kumpulan naskah menjadi ‘Amanat Galunggung’ diberikan oleh Saleh Danasasmita, yang turut mengkaji naskah ini pada tahun 1987.

Naskah yang dikatagorikan sebagai salah satu naskah tertua di Nusantara ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda, berisi nasehat perihal budi pekerti, disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja kerajaan Sunda ke-25, Penguasa Galunggung, kepada puteranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman. Sehingga didalam nalaroza weblog menyebut pula sebagai ‘Amanat Galunggung Prabu Guru Darmasiksa’.

Siapakah Prabugru Darmasiksa

Didalam naskah Carita Parahyangan diceritakan, Darmasiksa, atau ada juga yang menyebut Prabu Sanghyang Wisnu memerintah selama 150 tahun. Sedangkan di dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni sejak tahun 1097 – 1219 Saka atau 1175 – 1297 M. konon kabar sebagai bahan perbandingan ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sejaman dengan masa pemerintahannya. Ia naik tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya (1135 – 1159) M, penguasa Kediri Jenggala Wafat, iapun memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).

Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh – nasehat kepada cucunya, yakni Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut :

Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.

Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya : mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.

Inti dari nasehatnya tersebut menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.

Jika diurut bibit buit Rakyan Darmasiksa maka ditemukan muasal leluhurnya dari Kendan. Jika kita menyoal masalah Kendan tentunya tidak dapat dilepaskan dari Galuh, sehingga tak heran jika banyak masyarakat kita yang menafsirkan Amanat Galunggung ini terkait erat dengan nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh pada waktu itu.

Sama halnya dengan alur Carita Parahyangan yang mengisahkan Galuh, dibuat pada abad ke 16, satu abad pasca Amanat Galunggung, naskah yang diberi nama Amanat Galunggung ini memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8M.

Masa tersebut tentunya terkait dengan kisah perebutan tahta Galuh oleh sesama keturunan Wretikandayun, yakni antara anak-anak mandi minyak disatu pihak dan anak dari Sempak Waja dan Jantaka. Sehingga secara politis, Sanggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan pembagian kekuasaan diantara keturunan Wretikandayun, bahkan naskah ini menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun diluar Galuh.

Didalam naskah Wangsakerta Bab Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, diketahui nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra dari Wretikandayun (pendiri Galuh). Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732M. Eksistensi dari Resi Demunawan, Sempak Waja dan Wretikandayun banyak di ceritakan didalam Carita Parahyangan, bahkan seangkatan dengan Sanjaya dan Balangantrang.

Memang Demunawan, leluhur Prabuguru Darmasiksa memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh teureuh Kendan. Karena sekalipun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu memperoleh gelar Resi Guru. Suatu Gelar yang tidak sembarangan bisa didapat oleh siapapun, sekalipun oleh raja-raja terkenal, tanpa memilik sifat Satria Minandita, bahkan pasca Salakanagara dan Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa dan Resiguru Niskala Wastu Kancana, Raja di Kawali.

Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (Kuningan) kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, di daerah Tasik. Menurut kisah Bujangga Manik pad abadi ke 15, lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik selatan sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke 18 nama kerajaan tersebut masih ada, namun setingkat Kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Mungkin sebab alasan sejarah penduduk Kampung Naga Salawu Tasik enggan menyebut Singaparna, merekapun tetap menyebut Galungung untuk istilah Singaparna.



Kemudian Darmasiksa diangkat menjadi Raja di Kerajaan Sunda (Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada puteranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman.

Naskah Amanat Galunggung

Saripati dari naskah tersebut pada intinya berisi tentang tetekon hirup, yakni :

Keharusan untuk menjaga dan mempertahankan tanah kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan tanah kabuyutan sangat di sakralkan. Iapun mentebutkan, bahwa : lebih berharga kulit lasum (musang) yang berada ditempat sampah dari pada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.

Memotifasi agar keturunannya untuk tetap mempertahan Galunggung. Dengan cara mendudukan Galunggung maka siapapun akan memperoleh kesaktian, jaya dalam berperang, dan akan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.

Agar berbakti kepada para pendahulu yang telah mampu mempertahan tanah air pada jamannya masing-masing.

Amanat Galunggung intinya merupakan ajaran atau visi yang harus dimilik setiap ‘Urang Sunda’, terutama dalam cara hirup kumbuhna. Sehingga dapat membentuk diri sebagai pribadi yang positif dan mencerminkan kesejatian manusia.

Berikut dibawah ini Ringkasan ‘Amanat Galunggung’, Dalam tulisan ini sengaja hanya ditampilkan terjemaahan dari koropak 632 oleh Saleh Danasamita (1987), naum tidak pada analisanya ataupun pendapatnya. Hal ini semata-mata agar diketahui keaslian dan universalitasnya ajaran Sunda Buhun.

Halaman 1 :

Prabu Darmasiksa menjelaskan tentang nama-nama raja leluhurnya. Iapun memberikan amanat atau nasihat kepada: anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (ke-4), muning (ke-5), anggasantana (ke-6), kulasantana (ke-7), pretisantana (ke-8), wit wekas ( ke-9, hilang jejak), sanak saudara, dan semuanya.



Halaman 2 :

Pegangan Hidup :

Perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan (kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing.

Tentang perilaku negatif yang dilarang : Jangan merasa diri yang paling benar, jaling jujur, paling lurus, Jangan menikah dengan saudara, Jangan membunuh, yang tidak berdosa, Jangan merampas hak orang lain. Jangan menyakiti orang yang tidak bersalah. Jangan saling mencurigai.

Halaman 3 :

Pegangan Hidup

Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).

Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.

Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.

Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing.

Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.

Perilaku yang dilarang, yakni jangan memarahi orang yang tidak bersalah ;
Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada jamannya.

Halaman 4

Pegangan Hidup

Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri.

Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang “halus”.

Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah-bunda, tidak mengindahkan ajaran moral (patikrama). Ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegal.

Halaman 5

Pegangan Hidup

Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya.

Orang yang tetap hati seibarat telah sampai di puncak gunung.

Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar, maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh.

Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua.

Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran keutamaan dari leluhur.

Semua yang dinasihatkan ini adalah amanat dari Rakeyan Darmasiksa.

Halaman 6

Pegangan Hidup

Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang telah membuat ajaran/pegangan hidup yang lengkap dan sempurna.


Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi :

Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya;

Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan.

Ahli strategi akan unggul perangnya.

Pertanian akan subur.

Panjang umur.

SANG RAMA (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup ; SANG RESI (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan ; SANG PRABU (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan.

Perilaku yang dilarang, yakni : Jangan berebut kedudukan ; Jangan berebut penghasilan ; Jangan berebut hadiah.

Perilaku yang dianjurkan, yakni harus bersama- sama mengerjakan kemuliaan, melalui : perbuatan, ucapan dan itikad yang bijaksana.

Halaman 7

Pegangan Hidup

Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu menegakkan ajaran/agama ; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang/silaturahmi dengan sesama manusia. Itulah manusia yang mulia.

Dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal/bekerja, yaitu apa yang kita kerjakan. Buruk amalnya ya buruk pula tapanya, sedang amalnya ya sedang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya ya sempurna tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil tapanya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita.

Perilaku yang dianjurkan : Perbuatan, ucapan dan tekad harus bijaksana.

Harus bersifat hakiki, bersungguh-sungguh, memikat hati, suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara.

Perilaku yang dilarang : Jangan berkata berteriak, berkata menyindir-nyindir, menjelekkan sesama orang dan jangan berbicara mengada-ada.

Halaman 8.

Pegangan Hidup :

Bila orang lain menyebut kerja kita jelek (maksudnya bukan jelek fisik/tubuh), yang harus disesali adalah diri kita sendiri.

Tidak benar, karena takut dicela orang, lalu kita tidak bekerja/bertapa.

Tidak benar pula bila kita berkeja hanya karena ingin dipuji orang.

Orang yang mulia itu adalah yang sempurna amalnya, dia akan kaya karena hasil tapanya itu.

Camkan ujaran para orang tua agar masuk surga di kahiyangan.

Kejujuran dan kebenaran itu ada pada diri sendiri.

Itulah yang disebut dengan kita menyengaja berbuat baik.

Perilaku yang dianjurkan :

Harus cekatan, terampil, tulus hati, rajin dan tekun, bertawakal, tangkas, bersemangat, perwira - berjiwa pahlawan, cermat, teliti, penuh keutamaan dan berani tampil. Yang dikatakan semua ini itulah yang disebut orang yang BERHASIL TAPANYA, BENAR-BENAR KAYA, KESEMPURNAAN AMAL YANG MULIA.

Halaman 9

Pegangan Hidup :

Perlu diketahui bahwa yang mengisi neraka itu adalah manusia yang suka mengeluh karena malas beramal ; banyak yang diinginkannya tetapi tidak tersedia di rumahnya; akhirnya meminta-minta kepada orang lain.

Perilaku yang dilarang :

Arwah yang masuk ke neraka itu dalam tiga gelombang, berupa manusia yang pemalas, keras kepala, pander - bodoh, pemenung, pemalu, mudah tersinggung - babarian, lamban, kurang semangat, gemar tiduran, lengah, tidak tertib, mudah lupa, tidak punya keberanian - pengecut, mudah kecewa, keterlaluan/luar dari kebiasaan, selalau berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya padangan omongan orang lain, tidak teguh memegang amanat, sulit hat, rumit mengesalkan, aib dan nista

Halaman 10

Pegangan Hidup :

Orang pemalas tetapi banyak yang diinginkannya selalu akan meminta dikasihani orang lain. Itu sangat tercela.

Orang pemalas seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Jadilah dia manusia pengiri melihat keutamaan orang lain.

Amal yang baik seperti ilmu padi makin lama makin merunduk karena penuh bernas.
Bila setiap orang berilmu padi maka kehidupan masyarakat pun akan seperti itu.
Janganlah meniru padi yang hampa, tengadah tapi tanpa isi.

Jangan pula meniru padi rebah muda, hasilnya nihil, karena tidak dapat dipetik hasilnya.

Halaman 11

Pegangan Hidup

Orang yang berwatak rendah, pasti tidak akan hidup lama.

Sayangilah orang tua, oleh karena itu hati-hatilah dalam memilih isteri, memilih hamba agar hati orang tua tidak tersakiti.

Bertanyalah kepada orang-orang tua tentang agama hukum para leluhur, agar hirup tidak tersesat.

Ada dahulu (masa lampau) maka ada sekarang (masa kini), tidak akan ada masa sekarang kalau tidak ada masa yang terdahulu.

Ada pokok (pohon) ada pula batangnya, tidak akan ada batang kalau tidak ada pokoknya.

Bila ada tunggulnya maka tentu akan ada batang (catang)-nya.

Ada jasa tentu ada anugerahnya. Tidak ada jasa tidak akan ada anugerahnya.
Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia-sia.

Halaman 12

Pegangan Hidup:

Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia- sia, dan akhirnya sama saja dengan tidak beramal yang baik.

Orang yang terlalu banyak keinginannya, ingin kaya sekaya-kayanya, tetapi tidak berkarya yang baik, maka keinginannya itu tidak akan tercapai.

Ketidak-pastian dan kesemerawutan keadaan dunia ini disebabkan karena salah perilaku dan salah tindak dari para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai, para orang kaya; semuanya salah bertindak, termasuk para raja di seluruh dunia.

Bila tidak mempunyai rumah/kekayaan yang banyak ya jangan beristri banyak.

Bila tidak mampu berproses menjadi orang suci, ya jangan bertapa.

HALAMAN 13
Pegangan Hidup:

Keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja.

Tirulah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang dilaluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesempurnaan dan keindahan.

Teguh semangat tidak memperdulikan hal-hal yang akan mempengaruhi tujuan kita.

Perilaku yang dianjurkan:

Perhatian harus selalu tertuju/terfokus pada alur yang dituju.

Senang akan keelokan/keindahan.

Kuat pendirian tidak mudah terpengaruh.

Jangan mendengarkan ucapan-ucapan yang buruk.

Konsentrasikan perhatian pada cita-cita yang ingin dicapai.

SITUS PENINGGALAN KERAJAAN GALUH

SITUS PENINGGALAN KERAJAAN GALUH
KARANG KAMULYAN - CIAMIS